Senin, 04 Juni 2012

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN


Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara
yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat
dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya
ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip  ‘ius soli’ atau prinsip  ‘ius
sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada
pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada
prinsip hubungan darah.
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara,
secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu.
Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negaranegara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi
warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena
sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui
oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua
orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu
negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak,
dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan
pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri
yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal, negara tempat asal
sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem
kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan  menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila
kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan
yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan  (double citizenship)
atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip  ‘ius sanguinis’ yang
mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan
darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis
kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu.
Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini,
kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status
kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status
kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari
perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan
suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran
seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari
putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas
dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama,
status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam
wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip  ‘ius soli’ sebagaimana
dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status
kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan
melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang
dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang
bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status
yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal
adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam
pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai
penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak
dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi
tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara
resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip  ‘ius soli’, maka menurut
ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan
ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan
sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan
mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena
itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan  melalui proses registrasi biasa. Misalnya,
keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan
anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga
negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan
Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui
tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau  ‘citizenship by birth’, (ii)
kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau  ‘citizenship by naturalization’, dan (iii)
kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau  ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini
seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai
kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian
mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua
saja sebagaimana lazim dipahami selama ini.
Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat
diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara
Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di
Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan,
tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini
dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang
prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila
yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena
kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang
warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.
Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian,
karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa
yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya
sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya
dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan
status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan
tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap
orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar
dari kemungkinan menjadi  ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang
bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status
kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena
itu, di samping pengaturan kewarganegaraan  berdasarkan kelahiran dan melalui proses
pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana,
yaitu melalui registrasi biasa.
Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsipprinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip  ‘ius soli’ dan prinsip  ‘ius sanguinis’
sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu
prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat
kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan
perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di
pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus  ‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri.
Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara
yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip
dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip  ‘ius sanguinis’, mengatur
kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran.
Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina  yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun
yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia
dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang
bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal
orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal
ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap
mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi
biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai
orang asing sama sekali.
KEWARGANEGARAAN ORANG ‘CINA’ PERANAKAN
Orang-orang ‘Cina’ peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa
reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang
‘Cina’, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi
manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi
Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi,
seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah
pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan ‘Cina’ dengan warga negara
Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk
pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina,
dan lain sebagainya.
Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan ‘Tionghoa’ di tengah
masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu
‘sreg’ dengan sebutan ‘Tionghoa’ itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia
keturunan ‘Cina’. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu
malah lebih ‘distingtif’ atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri
terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan
dengan kelompok masyarakat di luar keturunan ‘Cina’. ‘Tiongkok’ atau ‘Tionghoa’ itu sendiri
mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan
negara-negara di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah ‘Cina’ yang
dianggap cenderung ‘merendahkan’ dengan perkataan ‘Tionghoa’ yang bernuansa kebanggaan
bagi orang ‘Cina’ justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi
bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain,
penggunaan istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri juga dapat direspons sebagai ‘kejumawaan’ dan mencerminkan arogansi cultural atau ‘superiority complex’ dari kalangan masyarakat ‘Cina’
peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan mengenai adanya
‘superiority complex’ penduduk keturunan ‘Cina’ dipersubur pula oleh kenyataan masih
diterapkannya sistem penggajian yang  ‘double standard’ di kalangan perusahaan-perusahaan
keturunan ‘Cina’ yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis ‘Cina’. Karena itu,
penggunaan kata ‘Tionghoa’ dapat pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang
menghambat upaya pembauran tersebut.
Oleh karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan ‘Cina’ dan warga
keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang
lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat nondiskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan
hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak
untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang
terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu lagi menyebut
dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja warga keturunan yang lahir di
Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka
dapat mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai
orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak
yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan.
Proses pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan pergaulan
antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu dikembangkan dengan cara
asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga pendidikan, medium pemukiman, medium
perkantoran, dan medium pergaulan social pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan
pendidikan dan perkantoran tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis.
Lembaga lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah
keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan bagi
berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang melibatkan pihak etnis
keturunan ‘Cina’ dengan etnis lainnya. Jika seandainya semua orang melakukan perkawinan
bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa setelah satu generasi atau setelah setengah abad,
isu etnis ini dan apalagi isu rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di
persada nusantara ini.
PEMBARUAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN
Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat
diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di
Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita
tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang
masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum
Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU
tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup
dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara warganegara asli
dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang
yang dilahirkan bukan sebagai warganegara Indonesia.
Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di kemudian
hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap
sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘Warga Negara
Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah di
kemudian hari menjadi warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai
‘Warga Negara Asli’. Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat
(1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam
konteks pengertian ‘Warga Negara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status
sebagai  warganegara asing sudah  sepantasnya  dianggap tidak memenuhi syarat untuk
dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen  UUD 1945  dan pembaruan UU tentang
Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara
memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di
atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar
yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan  dalam
penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk
memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.

Sumber : http://www.theceli.com/modules.php?name=Downloads&d_op=MostPopular